“Beritahukanlah kepada saya kapan kiamat terjadi,” tanya Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad ﷺ dalam sebuah hadis yang masyhur. Nabi menjawab dengan penuh kebijaksanaan, “Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui dari orang yang bertanya.”
Sebuah jawaban jujur dari seorang nabi pilihan Allah, yang menegaskan bahwa ilmu tentang kapan datangnya kiamat adalah hak prerogatif Allah semata. Tidak malaikat, tidak pula nabi, yang mengetahui waktunya.
Namun, yang menarik dari percakapan itu bukan hanya ketidaktahuan tentang waktu kiamat, melainkan petunjuk yang diberikan Rasulullah tentang tanda-tandanya. Jibril melanjutkan pertanyaannya: “Lalu beritahukan kepadaku tanda-tandanya.” Nabi pun menjawab, “Engkau akan melihat seorang hamba melahirkan tuannya. Dan engkau melihat orang-orang yang tidak memakai sendal, tidak berbaju, menggembala kambing, namun mereka berlomba-lomba membangun gedung-gedung tinggi.”
Hadis ini bukan sekadar ramalan. Ia adalah peringatan, cermin, bahkan tamparan bagi kita semua. Dua tanda yang disebutkan Nabi mengandung makna sosial yang sangat dalam dan tampaknya telah menjadi nyata di zaman ini.
Ketika Anak Menjadi ‘Tuan’ atas Orang Tuanya
Penafsiran pertama yang disampaikan para ulama tentang “seorang hamba melahirkan tuannya” adalah kembalinya praktik perbudakan sebagai konsekuensi peperangan. Namun di zaman modern, penafsiran ini meluas menjadi kerusakan tatanan sosial keluarga: ketika anak tidak lagi menghormati orang tua, ketika otoritas ayah dan ibu dilecehkan, dan ketika nilai-nilai adab diputarbalikkan. Sang ibu yang melahirkan justru diperlakukan seperti pembantu oleh anak-anaknya sendiri. Apakah ini berlebihan? Sayangnya tidak. Kita bisa menyaksikannya di rumah-rumah perkotaan, bahkan di layar media sosial: bagaimana anak-anak berbicara kasar, menuntut, bahkan mencaci orang tua mereka, hanya karena keinginan materi tak dipenuhi.
Fenomena ini diperparah oleh hilangnya kontrol nilai dalam pendidikan anak. Orang tua terlalu sibuk mengejar dunia, gadget menggantikan pelukan, dan akhirnya anak tumbuh tanpa kehangatan, tapi penuh tuntutan. Maka lahirlah generasi “raja kecil” yang merasa dunia harus tunduk pada egonya.
Gedung-gedung Tinggi, Hati yang Rendah
Tanda kedua: orang-orang yang dulunya tak memiliki apa-apa, tiba-tiba membangun rumah dan gedung tinggi yang mewah. Penafsiran atas hadis ini sering dikaitkan dengan fenomena urbanisasi dan kekayaan instan. Dulu, para penggembala kambing hidup dalam kesederhanaan, tapi kini mereka berubah menjadi pengusaha properti, konglomerat, atau pejabat elite yang membangun menara-menara pencakar langit. Bukan salah menjadi kaya, tapi ketika pembangunan fisik tak dibarengi dengan pembangunan moral, maka kita sedang menggali kubur peradaban kita sendiri.
Lebih menyedihkan lagi, rumah-rumah itu megah, tapi kosong dari nilai. Istana yang dihuni manusia-manusia kesepian. Apartemen mewah tapi tanpa sapaan antar tetangga. Kita mengejar bentuk luar, tapi mengabaikan isi jiwa.
Tanda-Tanda Itu Sudah Terjadi: Lalu Apa yang Kita Lakukan?
Apakah ini berarti kiamat sudah dekat? Wallahu a‘lam. Tapi satu hal yang pasti: setiap detik yang berganti, sejatinya memang sedang membawa kita menuju hari akhir. Bukan untuk ditakuti, tapi untuk diingatkan. Sebab keimanan sejati bukanlah tentang menghitung tanggal hari kiamat, tapi bagaimana mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Kiamat itu pasti. Namun kita tidak ditugaskan untuk memprediksi waktunya. Tugas kita adalah tafaqquh—memahami tanda-tandanya, lalu memperbaiki diri, keluarga, dan masyarakat. Kita tidak bisa menghindari akhir zaman, tapi kita bisa memilih: ingin menjadi bagian dari kerusakan, atau pembawa cahaya di tengah kegelapan.
Akhirnya, mari kita merenung: apakah kita masih menghormati orang tua? Apakah kita membesarkan anak dengan adab atau hanya dengan fasilitas? Apakah rumah kita dipenuhi dzikir atau hanya hiasan digital? Sebab bisa jadi, tanpa kita sadari, kiamat kecil telah terjadi di dalam hati kita masing-masing.