Gaza – Ribuan warga Palestina mulai kembali ke rumah mereka di Jalur Gaza pada Jumat (10/10/2025), setelah gencatan senjata Gaza yang ditengahi Amerika Serikat (AS) resmi diberlakukan. Kesepakatan ini memunculkan harapan baru bagi berakhirnya perang 2 tahun antara Israel dan Hamas yang telah menewaskan puluhan ribu orang.
Warga berbondong-bondong menuju wilayah utara Gaza yang telah hancur parah akibat serangan udara dan operasi militer. Banyak di antara mereka hanya menemukan puing-puing di tempat rumah mereka dahulu berdiri.
Gencatan senjata tersebut mencakup kesepakatan pembebasan 48 sandera yang tersisa, sekitar 20 di antaranya diyakini masih hidup, yang dijadwalkan akan dilepaskan pada awal pekan depan.
Namun, di balik kabar gembira itu, masih ada pertanyaan besar tentang siapa yang akan memerintah Gaza setelah pasukan Israel mundur secara bertahap, serta apakah Hamas akan melucuti senjatanya seperti yang disyaratkan dalam rencana gencatan senjata Presiden AS Donald Trump.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu yang sebelumnya sempat menghentikan gencatan senjata Gaza secara sepihak pada Maret 2025 menegaskan, Israel akan tetap menindaklanjuti perjanjian dengan hati-hati.
“Jika Hamas melucuti senjata dengan cara mudah, biarlah. Jika tidak, itu akan dicapai dengan cara yang sulit,” ujar Netanyahu dalam pidatonya di televisi.
Militer Israel memastikan, mereka akan tetap beroperasi secara defensif di sekitar 50% wilayah Gaza yang masih dikuasainya, meski pasukan mulai mundur ke garis yang disepakati dalam perjanjian damai.
Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendapat lampu hijau dari Israel untuk mulai menyalurkan bantuan kemanusiaan dalam jumlah besar mulai Minggu (12/10/2025). Bantuan itu mencakup 170.000 metrik ton bahan makanan dan pasokan medis yang selama berbulan-bulan tertahan di Yordania dan Mesir.
Juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan, bahan bakar dan kebutuhan vital lainnya mulai mengalir melalui penyeberangan Kerem Shalom, meski para pejabat PBB masih mendesak Israel membuka lebih banyak jalur masuk agar bantuan bisa mencapai warga Gaza dengan cepat.
Bantuan ini sangat penting mengingat Gaza telah mengalami krisis gizi dan kelaparan ekstrem akibat blokade panjang dan serangan intensif.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) bahkan sedang mengupayakan penangkapan Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Israel atas dugaan penggunaan kelaparan sebagai metode perang, tuduhan yang dibantah keras oleh pemerintah Israel.
Arus warga yang berjalan kaki memenuhi jalan pesisir Gaza tengah, menuju ke utara untuk melihat sisa rumah mereka. Pemandangan itu mengingatkan pada adegan serupa saat gencatan senjata Januari 2025 lalu, tetapi kali ini tingkat kehancuran jauh lebih besar.
Israel baru-baru ini melancarkan serangan ke Kota Gaza dan wilayah utara dalam upaya menghancurkan infrastruktur militer Hamas yang tersisa.
“Tidak banyak yang bisa disyukuri, tetapi gencatan senjata setidaknya mengurangi penderitaan dan pertumpahan darah,” kata Jamal Mesbah, warga yang berencana kembali ke rumahnya di utara.
Di Khan Younis, kota di bagian selatan Gaza, ratusan warga menemukan hanya puing dan reruntuhan di tempat rumah mereka dahulu berdiri.
“Tidak ada yang tersisa, hanya pakaian dan kayu berserakan,” tutur Fatma Radwan, seorang pengungsi dari Khan Younis.
Banyak warga masih berupaya mengevakuasi jenazah dari bawah reruntuhan, sementara yang lain mencari barang berharga yang mungkin masih bisa diselamatkan.
“Kami tiba di tempat yang tak dapat dikenali. Kehancuran ada di mana-mana,” kata Hani Omran, warga Gaza lainnya.
Perang yang dimulai pada 7 Oktober 2023, ketika militan Hamas menyerang Israel dan menewaskan sekitar 1.200 orang telah menghancurkan sebagian besar Jalur Gaza. Serangan balasan Israel menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina dan melukai hampir 170.000 orang, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza.
PBB dan para pakar independen menganggap angka itu sebagai perkiraan paling kredibel sejauh ini, meski kementerian tersebut berada di bawah pemerintahan Hamas. Sekitar setengah korban tewas adalah perempuan dan anak-anak.
Perang Israel-Hamas juga memicu konflik regional dan protes global, bahkan menimbulkan tuduhan genosida terhadap Israel yang hingga kini dibantah oleh pihak Tel Aviv.
Dalam kesepakatan yang dimediasi AS, Israel akan membebaskan sekitar 2.000 tahanan Palestina sebagai imbalan atas pembebasan sandera yang tersisa. Namun, tokoh populer Palestina Marwan Barghouti tidak termasuk dalam daftar yang dirilis Israel.
Pejabat Hamas Khalil al-Hayya mengatakan, semua wanita dan anak-anak Palestina yang ditahan di penjara Israel akan dibebaskan dalam tahap pertama. Proses pertukaran ini diperkirakan dimulai Senin (13/10/2025) mendatang, meski beberapa sumber menyebutkan bisa lebih cepat.
Sementara itu, rencana perdamaian Presiden Donald Trump mencakup ketentuan agar Israel tetap mempertahankan kehadiran militer terbatas di Gaza, sementara pasukan internasional dari negara-negara Arab dan Muslim akan bertanggung jawab atas keamanan wilayah tersebut.
AS juga akan memimpin program rekonstruksi besar-besaran untuk membangun kembali infrastruktur Gaza dengan dukungan pendanaan internasional.
Namun, masa depan politik Gaza masih belum pasti. Rencana Trump mengusulkan peran Otoritas Palestina yang direformasi untuk memimpin pemerintahan sipil di masa depan, meski usulan ini mendapat penolakan keras dari Netanyahu.
Dengan diberlakukannya gencatan senjata Gaza, ribuan warga Palestina kini menaruh harapan baru untuk masa depan yang damai. Meski banyak yang kembali hanya untuk menemukan kehancuran, mereka berpegang pada keyakinan bahwa perang 2 tahun ini akhirnya akan berakhir, dan kehidupan di Gaza bisa perlahan dibangun kembali dari puing-puingnya.