ACEH UTARA | GENTAPOST.COM – Di bawah terik matahari yang nyaris tak memberi ampun, peluh membasahi wajah para petugas. Tapi langkah mereka tak pernah ragu.
Mereka datang bukan sekadar menjalankan tugas, melainkan menjemput martabat manusia yang terlalu lama dikurung oleh stigma dan ketakutan.
Di balik jendela rumah kayu, sepasang orang tua terlihat menggenggam tangan putra mereka yang selama dua tahun terakhir hanya bisa memandang dunia dari balik belenggu besi, dipasung karena gangguan jiwa.
Hari itu, harapan baru datang mengetuk pintu. Tim dari Pemerintah Kabupaten Aceh Utara bersama Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh dan Dinas Kesehatan hadir untuk menjemput dan membuka kembali ruang hidup bagi para Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang selama ini terkurung di dalam rumah mereka sendiri.
Langkah ini merupakan bagian dari gerakan besar yang diusung Bupati Aceh Utara, H. Ismail A. Jalil, S.E., yang akrab disapa Ayahwa, dan Wakil Bupati Tarmizi (Panyang) melalui program “Aceh Utara Bebas Pasung 2025”.
Penjemputan ODGJ secara simbolis dilakukan langsung oleh Ayahwa, disaksikan para pejabat dan tenaga medis dari berbagai lintas sektor, termasuk Kepala Dinas Kesehatan Aceh Utara Jalaluddin, SKM., M.Kes., Direktur RSJ Aceh dr. Hanif, Direktur RSUD Cut Meutia dr. Syarifah Rohaya, Sp.M., dan Kepala Puskesmas Tanah Jambo Aye, H. Ismail, SKM., M.M.
Penjemputan difokuskan di empat gampong di Kecamatan Tanah Jambo Aye, Teupin Gajah, Tanjong Ceungai, Tanjong Meunye, dan Cot Biek, wilayah yang selama ini mencatatkan jumlah penderita pasung di Aceh Utara.
Salah satu kisah yang mencuat adalah Muhammad Dahri, 22 tahun, pemuda yang telah dua tahun dipasung di rumah oleh keluarganya. Dahri mulai menunjukkan gejala gangguan jiwa sejak 2019.
Menurut ibunya, Ummi Kalsum, keputusan untuk memasung adalah langkah pahit karena putranya kerap mengamuk dan membahayakan sekitar. “Kami ingin dia sembuh. Kami sangat berharap, ini jalan Allah untuk kesembuhan anak kami,” ujarnya sambil menahan tangis.
Dari tujuh ODGJ yang direncanakan untuk dijemput dalam kegiatan ini, enam berhasil dievakuasi dan dibawa ke RSJ Aceh.
Satu pasien lainnya di Gampong Cot Biek belum dapat dibawa karena kondisinya yang sangat agresif dan membahayakan, sehingga masih diisolasi sementara di rumah.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Jalaluddin, SKM., M.Kes., pemasungan masih menjadi fenomena sosial yang memprihatinkan di Aceh Utara.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan hingga pertengahan 2025, terdapat lebih dari 2.556 ODGJ dengan 32 kasus pasung aktif yang tersebar di beberapa kecamatan. Dinyatakan telah sembuh 50 persen.
Dari jumlah tersebut, sebagian telah pulih dan kembali ke masyarakat setelah mendapat penanganan medis dan dukungan psikososial.
“Ini bukan hanya tugas medis, ini tugas kemanusiaan. Mereka yang kita bebaskan hari ini adalah jiwa-jiwa yang selama ini dikurung dalam kesendirian, ketakutan, dan stigma. Kami ingin mereka kembali menjadi bagian dari masyarakat yang utuh,” tegas Jalaluddin.
Ia menjelaskan bahwa berbagai faktor menjadi pemicu tingginya angka gangguan jiwa di Aceh Utara, termasuk trauma masa konflik bersenjata, dampak tsunami, tekanan ekonomi, hingga minimnya literasi masyarakat terhadap kesehatan jiwa.
Dalam banyak kasus, keluarga merasa tak berdaya menghadapi perubahan perilaku anggota keluarganya yang mengidap gangguan jiwa, hingga akhirnya mengambil jalan pemasungan sebagai bentuk keputus-asaan.
Namun paradigma itu mulai digeser oleh program pembebasan pasung ini. Tidak hanya fokus pada penyembuhan medis, gerakan ini juga menyentuh aspek edukasi masyarakat.
Melalui pendekatan lintas sektor yang melibatkan puskesmas, pemerintah gampong, RSUD Cut Meutia, RSJ Aceh, serta tokoh-tokoh masyarakat, Pemerintah Aceh Utara membangun sistem dukungan berlapis yang menyeluruh.
Saat ini, hampir seluruh puskesmas di Aceh Utara memiliki perawat dan tenaga kesehatan jiwa terlatih, termasuk perawat dan dokter.
RSUD Cut Meutia juga memperkuat layanan dengan menghadirkan Unit Pelayanan Intensif Piskiater (UPIP) untuk penanganan pasien jiwa. Sistem rujukan pun akan berjalan dengan koordinasi baik dengan RSJ Banda Aceh.
Komitmen Bupati Ayahwa pun tak setengah hati. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa gerakan pembebasan pasung adalah prioritas 100 hari kerja.
“Jangan biarkan mereka terpasung di rumahnya sendiri. Memasung bukan solusi. Justru itu bentuk ketidakadilan. Negara harus hadir, pemerintah harus hadir, dan kita semua harus peduli. Aceh Utara harus bebas pasung,” ujar Ayahwa penuh semangat.
Dokumen resmi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara juga menguatkan komitmen tersebut.
Dalam surat bernomor 441/320/2025 yang ditujukan kepada Direktur RSJ Aceh, Pemerintah Kabupaten menyampaikan permohonan resmi penjemputan terhadap 32 pasien pasung dari berbagai wilayah, termasuk Tanah Jambo Aye dan Langkahan.
Beberapa di antara nama-nama tersebut adalah M. Khadafi (35 tahun, Tanjong Meunye), M. Zahri (23 tahun, Teupin Gajah), dan Tihalimah (45 tahun, Tanjong Ceungai).
Hampir semua dari mereka telah dipasung selama bertahun-tahun karena diagnosa skizofrenia dan gangguan perilaku berat.
Upaya pembebasan ini diharapkan menjadi awal dari pemulihan panjang yang tidak hanya mengembalikan kesehatan mental pasien, tetapi juga merekatkan kembali hubungan mereka dengan keluarga dan masyarakat.
Dengan langkah awal yang kuat di Tanah Jambo Aye, Aceh Utara menapaki jalan menuju transformasi sosial yang lebih inklusif dan berperikemanusiaan.
Harapannya, tidak ada lagi anak bangsa yang dipasung karena sakit jiwa, tidak ada lagi penderitaan yang disembunyikan karena malu, dan tidak ada lagi keluarga yang merasa sendiri dalam menghadapi gangguan jiwa.