Langsa | Kematian adalah sebuah kepastian yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Ia adalah rahasia Allah yang tidak pernah diberitahukan waktunya kepada makhluk. Setiap manusia tanpa terkecuali akan menghadapinya, entah cepat atau lambat, entah dalam keadaan sehat atau sakit, entah di atas ranjang, di jalanan, atau bahkan di medan perjuangan.
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Maka barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh ia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185).
Ayat ini mengingatkan bahwa kehidupan dunia hanyalah perjalanan singkat bukan tujuan akhir. Dunia hanyalah persinggahan sementara untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan abadi di akhirat. Kematian bukanlah garis penutup, melainkan sebuah pintu menuju fase berikutnya yang jauh lebih panjang dan menentukan kehidupan abadi entah di surga atau neraka.
Kematian sebagai Awal Kehidupan yang Hakiki
Banyak orang melihat kematian sebagai sesuatu yang menakutkan padahal hakikatnya yang menakutkan bukanlah kematiannya tetapi kondisi jiwa kita saat menjalaninya. Bagi mereka yang beriman kematian adalah permulaan menuju kebahagiaan abadi.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa kehidupan dunia bukanlah tempat istirahat bagi orang beriman melainkan tempat ujian dan perjuangan. Bagi orang kafir, dunia menjadi ruang bersenang-senang tetapi bagi orang beriman dunia adalah ladang amal. Surga yang abadi justru menanti setelah kematian.
Kematian yang dihadapi dengan iman dan amal shalih akan menjadi awal perjalanan indah. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menggambarkan bahwa ketika ruh seorang mukmin dicabut, ruh itu keluar dengan lembut bagaikan setetes air yang mengalir dari mulut kendi. Ruh itu kemudian disambut oleh malaikat dengan penuh kelembutan dan harum semerbak. Bandingkan dengan ruh orang kafir atau munafik, yang ketika dicabut terasa seperti besi panas yang diseret dalam wol basah penuh kesakitan dan penderitaan.
Inilah bukti bahwa kematian bukan akhir melainkan awal. Awal bagi mereka yang beriman menuju kebahagiaan dan awal bagi mereka yang lalai menuju penyesalan.
Kisah Para Sahabat: Menyambut Kematian dengan Iman
Para sahabat Nabi SAW adalah teladan bagaimana memandang kematian. Umar bin Khattab RA, khalifah kedua selalu mengingat kematian dalam setiap langkahnya. Ia pernah berkata, “Cukuplah kematian sebagai penasihat bagimu.” Baginya kematian adalah pengingat agar tidak terlena dengan dunia dan selalu menyiapkan bekal.
Khalid bin Walid RA, panglima perang yang dijuluki Pedang Allah yang Terhunus, menghabiskan hidupnya di medan jihad. Namun ketika ajalnya tiba, ia justru wafat di atas ranjang. Dalam detik-detik terakhirnya, ia berkata, “Aku telah menghadapi lebih dari seratus pertempuran dan tidak ada satu pun tubuhku kecuali penuh luka karena pedang, tombak, dan panah. Namun kini aku mati di atas ranjang seperti matinya seekor unta. Semoga mata para pengecut tidak pernah tidur nyenyak.” Kisah ini menunjukkan bahwa kematian tetap rahasia Allah; meski seseorang hidup dalam medan pertempuran, Allah bisa mematikannya di tempat yang berbeda.
Bilal bin Rabah RA, sahabat Nabi yang terkenal dengan keindahan suaranya dalam adzan, menjelang wafatnya justru bergembira. Ia berkata, “Besok aku akan berjumpa dengan kekasihku Muhammad dan para sahabat.” Baginya kematian adalah pintu pertemuan dengan Rasulullah SAW dan jalan menuju ridha Allah.
Kisah-kisah ini memperlihatkan bahwa kematian bisa menjadi sesuatu yang ditunggu dengan penuh rindu jika iman dan amal sudah terjaga.
Refleksi Kehidupan Modern: Melupakan Kematian
Sayangnya kehidupan modern hari ini sering membuat manusia lupa bahwa mereka akan mati. Dunia yang penuh dengan kesibukan, ambisi, dan hiburan membuat manusia merasa seakan-akan hidup akan terus berlangsung. Banyak orang yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengejar kekayaan, popularitas, atau jabatan, tetapi lupa bahwa semua itu akan ditinggalkan saat maut tiba.
Fenomena materialisme, hedonisme, dan konsumerisme membuat manusia semakin jauh dari kesadaran akan kematian. Bahkan kematian sering dianggap sebagai hal tabu untuk dibicarakan. Padahal dalam Islam, mengingat kematian (dzikrul maut) justru dianjurkan agar hati tidak lalai.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi).
Mengapa disebut penghancur kenikmatan? Karena mengingat kematian akan menghentikan kesombongan, menenangkan ambisi, dan membuat seseorang lebih berhati-hati dalam bertindak.
Di era digital ini kita juga bisa melihat ironi lain, berita kematian sering hanya dilihat sekilas di media sosial, kemudian dilupakan begitu saja. Padahal seharusnya setiap kabar duka menjadi pengingat bahwa giliran kita pun akan datang.
Bekal yang Harus Disiapkan
Karena kematian adalah awal dari kehidupan abadi, maka pertanyaan pentingnya adalah, apa bekal kita?
Bekal itu bukanlah harta, jabatan, atau ketenaran. Bekal itu adalah amal shalih berupa shalat, sedekah, membaca Al-Qur’an, berbuat baik kepada sesama, dan menjaga hati dari dosa.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Apabila manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Inilah bekal yang akan terus menemani manusia di alam kubur hingga hari kiamat. Semua amal duniawi akan sirna kecuali amal yang diniatkan karena Allah.
Penutup: Menyongsong Kehidupan Abadi dengan Persiapan
Kematian bukanlah akhir. Ia adalah awal dari kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan abadi di sisi Allah. Mereka yang beriman dan beramal shalih akan menyambut kematian dengan tenang, sementara mereka yang lalai akan menyesal tiada henti.
Dunia hanyalah persinggahan singkat. Kita ibarat musafir yang sedang berteduh sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Maka janganlah kita terlalu nyaman hingga lupa menyiapkan bekal. Sebab ajal bisa datang kapan saja, tanpa peringatan, tanpa kesempatan kedua.
Mari kita renungkan: sudahkah kita siap? Sudahkah kita mengisi hari-hari dengan amal shalih? Sudahkah kita memperbaiki diri, memperkuat iman, dan menebar kebaikan?
Sebab pada akhirnya, kematian hanyalah pintu. Dan yang menentukan indah atau tidaknya perjalanan setelah melewati pintu itu adalah bekal yang kita bawa.