GENTAPOST.COM – Pada 15 Agustus 2005, tercapai perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI) melalui perjanjian Helsinki, yang memberikan harapan baru bagi rakyat Aceh untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian dalam mengatur urusan pemerintahan serta kepentingan masyarakat.
Hal ini diperkuat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, yang memberi kewenangan khusus kepada Aceh sebagai provinsi dengan status istimewa. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 dan 3, Aceh memiliki hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.
Di dalamnya juga diatur bahwa pemerintah kabupaten/kota di Aceh memiliki kewenangan serupa dalam mengelola urusan pemerintahan, dengan pengecualian pada urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, dan fiskal nasional, serta beberapa urusan agama.

Pasal 7 Undang-Undang tersebut menjelaskan lebih lanjut bahwa Pemerintah Aceh, bersama dengan pemerintah kabupaten/kota, memiliki kewenangan untuk mengatur semua urusan publik, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat. Pemerintah pusat juga dapat melimpahkan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk dilaksanakan dengan prinsip tugas pembantuan.
Sebagai implementasi dari kewenangan ini, Pemerintah Aceh mengatur berbagai kebijakan, termasuk pembuatan qanun (peraturan daerah) yang disepakati bersama dengan pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, terdapat lima lembaga kekhususan yang menjadi bagian integral dari pemerintahan Aceh, yakni:
1. Lembaga Wali Nanggroe,
2. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU),
3. Majelis Pendidikan Daerah,
4. Majelis Adat Aceh,
5. Baitul Mal.
Dari kelima lembaga tersebut, MPU menjadi salah satu yang paling penting mengingat mayoritas penduduk Aceh beragama Islam (98,6%). MPU berperan sebagai mitra pemerintah daerah dalam memberikan pertimbangan terhadap kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan beragama. MPU memiliki kedudukan yang sejajar dengan pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tingkat provinsi, serta Bupati/Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) pada tingkat kabupaten/kota.
Keberadaan MPU sangat penting, terutama dalam menetapkan fatwa yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan daerah, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Pasal 139 ayat 1. Fungsi ini menunjukkan betapa besar peran MPU dalam mendukung kemandirian Pemerintah Aceh dalam membuat kebijakan terkait syariat Islam.
Dengan adanya MPU, Pemerintah Aceh semakin mandiri karena memiliki dua lembaga yang memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, yaitu DPR dan MPU. Struktur organisasi MPU yang hampir sama dengan DPR semakin memperkuat peran lembaga ini dalam memberi masukan strategis bagi kebijakan publik. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh semakin mampu menjalankan tugasnya dengan dasar hukum dan fatwa dari MPU, khususnya dalam bidang agama, tanpa ada lagi gejolak terkait isu-isu aliran sesat.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan, terutama dalam bidang agama, sudah saatnya Pemerintah Aceh menggunakan fatwa dan tausyiah dari MPU sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan. Ini menunjukkan betapa jauh kemajuan yang telah dicapai dalam mengembangkan kemandirian Aceh, khususnya dalam menjalankan prinsip-prinsip syariat Islam secara lebih sempurna.