BANDUNG | GENTAPOST.COM – Lembaga Wali Nanggroe melalui Tim Pembinaan dan Pelaksanaan MoU Helsinki menyampaikan sejumlah catatan kritis terkait lambannya penyelesaian teknis penormaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Catatan tersebut disampaikan dalam pertemuan resmi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI yang digelar di Bandung, 2 Juni 2025
Kabag Kerjasama dan Humas Wali Nanggroe Zulfikar Idris menyebutkan, pertemuan tersebut dihadiri oleh Dr. Muhammad Raviq, Ketua Tim Pembinaan dan Pelaksanaan MoU Helsinki beserta para anggota, dan Hernadi, S.H., M.H., Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham RI.
Diskusi berfokus pada rencana penyusunan peraturan presiden (perpres) dengan pendekatan omnibus law guna mempercepat dan menyelaraskan pelaksanaan UUPA di Aceh.
Dr. Raviq menekankan bahwa dalam kurun waktu 19 tahun sejak disahkannya UUPA, masih terdapat sejumlah permasalahan krusial yang belum terselesaikan.
“Ada empat permasalahan teknis penormaan yang belum tuntas. Pertama, regulasi terkait norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) penyelenggaraan Pemerintah Aceh belum ditetapkan. Kedua, dari sembilan Peraturan Pemerintah (PP) yang diamanatkan oleh UUPA, baru lima yang disahkan, sementara empat lainnya belum tersentuh. Ketiga, banyak norma dalam UUPA yang tidak dapat diimplementasikan karena ketiadaan aturan pelaksana. Keempat, perlu ada sinkronisasi antara UUPA dengan peraturan sektoral lainnya,” jelas Raviq yang juga Staf Khusus Wali Nanggroe.
Ia juga menambahkan bahwa pendekatan omnibus law dalam penyusunan Perpres diharapkan dapat menjadi solusi komprehensif.
“Rancangan Perpres dengan metode omnibus law ini diharapkan segera terbentuk untuk merapikan tata kelola pemerintahan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Aceh,” ujar Raviq.
Namun demikian, Raviq menegaskan bahwa penggunaan metode omnibus law bukan satu-satunya pilihan.
“Ini soal pilihan teknis. Bisa saja berubah, karena kami akan melakukan kajian hukum bersama Pusat Studi Konstitusi dan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran agar opsi hukum yang diambil benar-benar tepat bagi kemajuan Aceh,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Hernadi menyampaikan komitmen Kementerian Hukum RI untuk mendukung Aceh dalam proses harmonisasi regulasi.
“Pemerintah Pusat melalui Kemenkumham akan tetap membantu Aceh. Masalah pilihan hukum akan kita bahas secara teknis, apakah akan memakai Perpres atau PP. Semoga segera kita bentuk drafnya,” ujar Hernadi.
Hernadi juga menggarisbawahi bahwa pendekatan omnibus law bukan hal baru dalam sistem perundang-undangan Indonesia.
“Kita sudah punya beberapa regulasi berbasis omnibus, seperti UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, UU Harmonisasi Peraturan Pajak, dan UU Penguatan Sektor Keuangan. Semoga Aceh bisa memulai langkah baru, apakah dalam bentuk PP atau perpres,” jelasnya.
Diskusi tersebut turut disaksikan oleh Paduka Yang Mulia Malik Mahmud Al-Haytar, Wali Nanggroe Aceh. Kehadiran beliau menunjukkan dukungan penuh terhadap upaya percepatan implementasi MoU Helsinki melalui penyelarasan regulasi. Ia didamping Khatibul Wali Abdullah Hasbullah dan sejumlah anggota tim lainnya.
Mengakhiri pertemuan, baik Tim Aceh maupun Kemenkumham sepakat bahwa percepatan pelaksanaan UUPA membutuhkan payung hukum tambahan.
“Untuk mempercepat implementasi UUPA, memang diperlukan aturan pelaksana lain yang bisa mengharmonisasikan UUPA dengan peraturan sektoral lainnya. Ini bagian dari mewujudkan amanah MoU Helsinki,” kata Hernadi.
Pertemuan ini menjadi langkah awal menuju terobosan hukum yang diharapkan dapat memperkuat otonomi Aceh sekaligus mempercepat pembangunan yang berlandaskan pada kesepakatan damai yang telah dirintis hampir dua dekade silam.[]