Langsa | Kekuasaan selalu menjadi magnet yang memikat manusia. Dari zaman kerajaan hingga negara modern hari ini, kekuasaan tetap menjadi rebutan yang tak pernah usai. Banyak orang rela menggadaikan idealisme, menghalalkan segala cara, bahkan menindas sesamanya demi meraih singgasana. Namun sejarah dengan lantang bersuara: kekuasaan itu fana, ia akan sirna dan ia tidak pernah abadi.
Fir’aun yang congkak, Namrud yang angkuh, Qarun yang pongah, semuanya tumbang. Tidak ada kursi yang kekal, tidak ada tahta yang abadi. Sejarah dunia modern pun membuktikan, pemimpin yang dulu dielu-elukan dengan tepuk tangan, kini dilupakan bahkan dicaci. Seolah dunia ingin memberi pesan, janganlah kamu menyombongkan diri, sebab singgasana itu hanyalah pinjaman.
Sombong dengan kekuasaan adalah racun yang mematikan jiwa. Ia membuat manusia tuli terhadap kritik, buta terhadap penderitaan rakyat, dan bisu dalam menyuarakan kebenaran. Pemimpin yang mabuk kuasa kerap merasa dirinya tidak tergantikan. Padahal jabatan hanyalah titipan.
Imam Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya’ Ulumuddin: “Kekuasaan dan harta hanyalah fitnah (ujian). Ia bisa mengangkat seseorang menuju derajat yang mulia jika dipergunakan untuk kebaikan, tetapi bisa pula menjerumuskannya ke lembah kehinaan jika ia terperdaya olehnya.”
Betapa banyak penguasa yang saat ini berkuasa dielu-elukan, tetapi begitu jatuh, ia dilupakan. Bahkan kerap dicibir oleh rakyat yang dulu memujanya. Semua itu menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan, betapa cepatnya ia berganti wajah.
Indonesia Hari Ini: Cermin dari Sejarah
Jika kita berkaca pada Indonesia hari ini, kita melihat wajah yang sama dari sejarah terdahulu. Kekuasaan di negeri ini sering kali menjadi rebutan yang penuh intrik. Pemilu dijadikan ajang perebutan kursi, bukan ruang adu gagasan. Politik lebih banyak dipenuhi drama pencitraan, sementara penderitaan rakyat sering kali terpinggirkan.
Kita menyaksikan bagaimana korupsi merajalela di berbagai lembaga, seolah kekuasaan hanyalah alat untuk memperkaya diri. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, banyak pejabat publik yang akhirnya ditangkap bukan karena kurang pintar, tetapi karena terlalu mabuk kuasa. Ironisnya, sebagian di antara mereka adalah tokoh yang dulu dielu-elukan.
Indonesia adalah negeri kaya raya, namun masih banyak rakyat miskin. Di tengah gedung-gedung megah, masih ada anak bangsa yang kekurangan gizi. Di balik angka pertumbuhan ekonomi, masih ada pengangguran yang tak terurus. Dan di balik slogan pembangunan, ada ketidakadilan yang terasa nyata. Semua ini menunjukkan betapa sering kekuasaan dijalankan tanpa kesadaran sebagai amanah.
Umar bin Khattab pernah berkata: “Jika ada seekor unta tersesat di tepi Sungai Eufrat, aku khawatir Allah akan menanyakan pertanggungjawabannya kepadaku.”
Kata-kata ini menegaskan: kekuasaan bukanlah kebanggaan, melainkan tanggung jawab besar yang kelak ditagih di hadapan Allah. Kalau begitu, bagaimana dengan seorang pemimpin di negeri kita yang melihat rakyatnya miskin, terpinggirkan, bahkan tak memiliki akses pendidikan dan kesehatan? Tidakkah ia akan ditanya lebih berat lagi?
Politik yang Kehilangan Nurani
Politik Indonesia kini kerap kehilangan nurani. Kekuasaan diartikan sebagai jalan memperkaya diri bukan sebagai jalan pengabdian. Padahal, Ali bin Abi Thalib pernah mengingatkan: “Jabatan itu bukan untuk kemuliaanmu, melainkan ujian atas kesabaranmu. Jangan pernah engkau mencari jabatan, tetapi jika ia datang kepadamu, tunaikanlah amanahnya dengan adil.”
Namun apa yang kita lihat hari ini? Banyak yang mengejar jabatan dengan nafsu luar biasa, menghalalkan segala cara, seolah kursi itu akan membuat mereka abadi. Padahal rakyat semakin kritis dan rakyat tahu siapa yang benar-benar mengabdi dan siapa yang hanya memanfaatkan kekuasaan.
Sayangnya, nasihat ini kerap diabaikan. Banyak yang mengejar kekuasaan dengan penuh nafsu, seolah kursi itu akan menambah harga diri. Padahal, kursi itu akan ditinggalkan. Gelar akan dilupakan. Harta akan ditinggal dalam kubur. Yang abadi hanyalah amal dan akhlak.
Refleksi untuk Kita Semua
Kita semua sekecil apapun adalah pemimpin: bagi diri sendiri, keluarga, atau lingkungan. Peringatan ini bukan hanya untuk Presiden, Gubernur, Bupati, atau pejabat tinggi dilingkungan Kampus seperti Rektor dan lainnya melainkan untuk setiap orang yang diberi kuasa, sekecil apapun kuasa itu.
Janganlah kita menyombongkan diri hanya karena jabatan, kekayaan, atau pengaruh. Sebab, semua itu hanyalah titipan. Ia akan diambil kembali oleh waktu. Yang abadi hanyalah akhlak, keadilan, dan kebaikan yang kita wariskan.
Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tetapi sering kekurangan orang jujur. Tidak kekurangan pejabat tetapi sering kekurangan pemimpin sejati. Yang dibutuhkan negeri ini bukanlah mereka yang menyombongkan diri dengan jabatan melainkan mereka yang rendah hati, adil, dan berani berpihak pada rakyat.
Syaikh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam menulis: “Janganlah engkau merasa mulia karena kekuasaan yang kau pegang, sebab ia hanyalah pakaian pinjaman. Yang sejati adalah kemuliaan akhlak dan ketaatanmu kepada Allah.”
Itulah yang seharusnya ditanamkan dalam diri para pemimpin kita hari ini: bahwa kekuasaan hanyalah titipan, bukan milik mutlak. Bahwa jabatan adalah alat untuk berbuat kebaikan, bukan panggung kesombongan.
Penutup: Kekuasaan Akan Sirna, Kebaikan Akan Abadi
Kekuasaan memang menggoda. Ia bisa membuat manusia merasa tinggi. Tetapi hari ini kita dipuji, besok bisa dicaci. Hari ini kita di singgasana, besok mungkin kita dilupakan.
Yang abadi bukanlah kursi, bukanlah gelar, bukanlah kekayaan. Yang abadi adalah amal kebaikan. Yang kekal adalah akhlak.
Maka jika engkau diberi kekuasaan janganlah menyombongkan diri. Gunakanlah ia untuk menegakkan keadilan, menebarkan kebaikan, dan melayani manusia. Sebab, pada akhirnya bukan kekuasaan yang akan menyelamatkanmu, melainkan amal baikmu.
Kekuasaan akan sirna. Tetapi nama baikmu bisa hidup selamanya, jika engkau menjadikannya sebagai jalan pengabdian, bukan panggung kesombongan.