ACEH UTARA — Satuan Tugas Percepatan Pembangunan Aceh (Satgas PPA) mendesak Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diduga beroperasi tanpa izin di dalam kawasan hutan Aceh Utara.
Desakan ini menyoroti secara khusus aktivitas PT Perkebunan V Cot Girek, yang tercantum dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor SK.1156/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2023.
Koordinator Satgas PPA, Tri Nugroho Panggabean, menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh abai terhadap praktik usaha ilegal yang mengancam kelestarian hutan dan memicu konflik agraria di daerah.
“Perusahaan yang beroperasi tanpa dasar hukum di kawasan hutan harus segera ditindak sesuai aturan yang berlaku. Penegakan hukum merupakan langkah penting untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjaga keberlanjutan lingkungan,” ujar Tri Nugroho dalam keterangannya, Selasa (21/10/2025).
Desakan Satgas PPA muncul di tengah meningkatnya ketegangan agraria di Kecamatan Cot Girek, Aceh Utara, yang melibatkan PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV). Perusahaan pelat merah tersebut diketahui tengah mengajukan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 7.500 hektare, namun prosesnya diwarnai sengketa dengan masyarakat setempat.
Aksi protes serta blokade jalan beberapa waktu lalu mencerminkan meningkatnya frustrasi masyarakat terhadap ketidakpastian penyelesaian konflik lahan tersebut.
“Jika tidak ada langkah tegas dan transparan, konflik ini berpotensi meluas menjadi krisis sosial yang lebih kompleks,” tambah Tri.
Dalam SK Menteri LHK Nomor SK.1156/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2023, PT Perkebunan V Cot Girek disebut sebagai salah satu perusahaan yang melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan tanpa izin kehutanan.
Perusahaan tersebut tercatat memiliki luasan indikatif areal terbuka sekitar 15.594 hektare, dengan lokasi kegiatan di wilayah administratif Aceh.
Skema penyelesaian pelanggaran terhadap PT Perkebunan V Cot Girek diusulkan melalui mekanisme Pasal 110A atau Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja, yang mengatur penertiban kegiatan usaha di kawasan hutan tanpa izin melalui sanksi administratif dan pemulihan fungsi kawasan.
Selain Cot Girek, SK Menteri LHK juga mencantumkan sejumlah perusahaan lain di Aceh yang terindikasi beroperasi tanpa izin, antara lain:
1. PT Persati (±6.789 ha)
2. PT Potensi Bumi Sakti (±6.744 ha)
3. Dan sebagainya.
Data tersebut akan menjadi dasar verifikasi lapangan sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan.
Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Lembaga ini memiliki mandat untuk menertibkan kegiatan usaha yang telah terbangun di kawasan hutan tanpa perizinan kehutanan, termasuk kegiatan perkebunan dan pertambangan.
Kebijakan tersebut merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengatur penyelesaian pelanggaran kehutanan melalui sanksi administratif serta pemulihan lingkungan.
KLHK sebelumnya juga telah melakukan langkah serupa di wilayah lain, termasuk pemusnahan tanaman sawit ilegal di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Aceh Tamiang. Satgas PPA berharap tindakan tegas seperti itu segera diterapkan di Aceh Utara.
“Kami meminta agar Satgas PKH segera memverifikasi data dan menindak perusahaan yang melanggar. Jangan biarkan kawasan hutan terus rusak tanpa kepastian hukum,” tegas Tri Nugroho.
Kawasan Perkebunan V Cot Girek memiliki sejarah panjang dalam industri perkebunan nasional. Lahan tersebut awalnya merupakan bagian dari sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang kemudian dilebur menjadi PT Perkebunan Nusantara I (PTPN I) hasil penggabungan eks PTP I, PTP V, dan PT Cot Girek Baru.
Tri Nugroho menilai, penyelesaian masalah di Cot Girek tidak hanya menyangkut aspek legalitas, tetapi juga keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
“Penegakan hukum bukan hanya soal sanksi, tetapi juga keberlanjutan lingkungan dan keadilan bagi masyarakat lokal,” pungkasnya.
Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1156/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2023 ditetapkan pada 2 November 2023 dan menjadi dasar hukum bagi proses verifikasi, penertiban, serta penegakan sanksi terhadap perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin.[Red]