BANDA ACEH | GENTAPOST.COM – Suasana panas soal empat pulau di perbatasan Aceh-Sumut belum juga mereda. Kunjungan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution bersama Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu ke Banda Aceh, Rabu (4/6/2025), bukannya mendinginkan suasana, malah menambah bara.
Pasalnya, mereka datang membawa ajakan “kerja sama pengelolaan bersama” atas empat pulau yang selama ini diklaim milik Aceh: Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang. Tapi masyarakat Aceh malah dibuat geram.
“Logikanya di mana? Itu milik kita, lalu datang orang minta kita berbagi?” ujar seorang warga Aceh yang enggan disebut namanya. “Ajakan Bobby ini kelihatannya manis, tapi pahit tiada tara. Dia tidak pikirkan perasaan masyarakat Aceh.”
Keempat pulau itu resmi tercatat masuk ke wilayah administrasi Sumut berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Artinya, secara hukum, Aceh harus rela ‘kehilangan’ wilayah yang selama ini diyakini sebagai bagian dari tanah rencong.
Namun, yang bikin heran, setelah keputusan itu keluar, justru Gubernur Sumut datang membawa wacana kolaborasi pengelolaan bersama.
“Ini akrobat politik apa?” sindir seorang pengamat politik lokal. “Bobby datang seperti pemenang. Dia terlalu percaya diri, mungkin karena statusnya sebagai menantu Presiden Jokowi.”
Mualem Walk Out, Delegasi Sumut Bengong
Pertemuan yang awalnya dibalut silaturahmi antarprovinsi itu justru berakhir dingin. Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem memilih pergi lebih awal dengan alasan ada agenda lain. Delegasi Sumut yang tersisa pun tampak terdiam.
“Buat mereka (delegasi Sumut), ini mungkin pertemuan penting. Tapi bagi Mualem, lebih penting menjaga harga diri Aceh,” kata seorang sumber di lingkungan Pemerintah Aceh.
Sebagai mantan panglima GAM, sikap Mualem dianggap wajar oleh sebagian masyarakat Aceh. “Jangankan delegasi Sumut, Jakarta saja dulu dilawan kalau dianggap merampas hak Aceh,” tambah sumber tersebut.
Meski sikap Mualem dikritik sebagian kalangan karena dianggap tidak menghormati tamu, banyak masyarakat Aceh justru mendukung langkah tegas itu.
“Marwah Aceh itu segalanya. Kita bukan bangsa yang pura-pura,” ujar tokoh muda Aceh. “Kalau memang tidak suka, ya tidak akan dilayani dengan manis. Ini Aceh, bukan panggung sandiwara.”
Ini Belum Tamat
Konflik ini dinilai belum akan selesai dalam waktu dekat. Masyarakat Aceh mulai mendesak DPR Aceh dan para politisi lokal untuk menyuarakan penolakan dan mendesak Kemendagri mencabut SK yang dinilai merugikan Aceh.
“Keputusan ini seperti menciptakan konflik baru,” ujar salah satu tokoh adat. “Jakarta harus menjelaskan logika keadilannya. Kenapa wilayah kami dipindahkan begitu saja?”
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Pusat soal desakan masyarakat Aceh tersebut. Yang pasti, gejolak ini bisa saja menjadi api dalam sekam jika tak ditangani dengan arif. [RED]