BANDA ACEH – Suasana berubah cepat. Kemarin orasi lantang, hari ini makan bersama. Aksi demonstrasi menolak rencana pembangunan Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) di Aceh yang digelorakan dengan semangat muda, kini berakhir di meja yang sama dengan para pemilik kekuasaan—Kodam, pada, Rabu (02/07/25).
Kami, anak muda usia 18–23 tahun, bukan generasi pengejar jabatan, bukan pula mereka yang terobsesi SK atau gaji tetap. Kami tak tumbuh besar mengenal baju coklat, hijau, atau warna-warna kekuasaan lainnya. Bahkan menjadi “tongkat” atau alat kekuasaan bukanlah pilihan kami. Kami hidup santai, hidup dengan keberanian: tidak takut lapar, tidak takut miskin, dan tidak takut menganggur.
Kini, Aceh bukan hanya menjadi provinsi dengan sejarah panjang militerisme, tetapi juga sedang dirancang untuk diperluas kekuatan daratnya melalui empat Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP), yang akan ditempatkan di:
- Kabupaten Pidie
- Kabupaten Nagan Raya
- Kabupaten Aceh Tengah
- Kabupaten Aceh Singkil
Apa urgensinya? Bukankah Aceh sudah memiliki enam batalyon aktif di bawah Kodam Iskandar Muda? Mengapa perlu tambahan kekuatan? Apakah ini murni pertahanan, atau bentuk baru dari pendekatan keamanan di atas tanah bekas konflik?
Demo yang kemarin bergema menolak, kini sunyi. Mereka yang berdiri di depan pagar kini duduk rapi di dalam ruangan pendingin. Ketika ditanya mengapa perubahan begitu cepat terjadi?
Jawabannya ringan, “Anak muda wajib bersosialisasi demi cerahnya masa depan, Kak.”
Namun bagi kami, itu bukan sosialisasi. Itu bentuk kompromi dini, saat idealisme ditukar dengan keramahan instan. Saat keberanian dikalahkan oleh makan siang. Apakah ini masa depan yang ingin kita bangun?
Ironisnya, saat pemerintah mengajak “sosialisasi”, kita justru teringat pada tahun-tahun ketika suara rakyat disebut “pengkhianat”. Kini suara itu disenyapkan bukan oleh aparat, tapi oleh selfie dan senyum manis di meja Kodam.
Ini bukan hanya tentang pembangunan batalyon. Ini tentang bagaimana sejarah mengulang dirinya—bukan dengan senjata, tapi dengan pelukan. Dan dalam pelukan itu, idealisme perlahan dikubur.
Hari ini, kita bertanya: apakah ruang sipil Aceh semakin kuat? Atau justru kian sempit diapit deretan barak baru?. [Muhammad Nur, SH]