ACEH – GENTAPOST.COM | Senja belum sepenuhnya tenggelam ketika suasana hening menyelimuti sebuah rumah sederhana di salah satu sudut Aceh. Di dalamnya, seorang gadis muda bernama Aulia tengah duduk menatap koper terbuka yang telah terisi penuh dengan baju-baju kuliah. Di antara keheningan itu, gejolak batinnya tak bisa disembunyikan.
Aulia, yang akrab disapa Kak Oya, tengah bersiap kembali ke asrama dan melanjutkan kuliah di Kota Raja, Banda Aceh. Meski segala keperluan telah disiapkan—catatan kuliah, jam tangan, dan perlengkapan pribadi—hati kecilnya masih menggantung di antara harapan dan ketidakpastian.
Sinyal komunikasi yang buruk memperumit keinginannya untuk mendengar suara ayahnya—sosok pekerja keras yang tengah bertugas di luar kota. Koneksi yang terputus-putus hanya mempertegas satu hal: perjalanan ini harus ia tempuh tanpa didampingi sang ayah.
Di tengah lamunan, suara kecil menyapa. Ica, adik perempuannya yang masih belia, dengan polos menanyakan keadaan sang kakak. Dengan senyum tipis, Oya menyembunyikan segala gundahnya. Namun tak lama kemudian, sebuah suara mobil yang berhenti di depan rumah mengubah semuanya.
Sang abang datang. Bukan hanya dengan kendaraan, tapi juga dengan kabar penuh kelegaan.
“Cepat berkemas, kita ke Kota Raja. Bapak nggak bisa ikut, tapi semua sudah abang siapkan,” ujarnya tegas, sambil menunjukkan bukti transfer dari hasil pinjaman pribadi yang ia ambil demi keberangkatan sang adik.
Tubuh Oya gemetar, kali ini bukan karena takut atau kecewa, melainkan haru yang begitu dalam. Abangnya, lelaki sederhana yang tak banyak bicara, memilih untuk menjawab dengan tindakan nyata.
Azan Maghrib mengiringi momen penuh syukur malam itu. Keluarga kecil itu berpencar untuk menunaikan salat, namun sebelum bersujud, ponsel Oya kembali berdering. Suara sang ayah akhirnya terdengar, dengan pesan penuh keteguhan:
“Aulia harus tetap berangkat, walau sendiri. Naik bus umum pun tak apa. Ini semua untuk masa depanmu.”
Usai salat, Oya segera menyampaikan kabar kepada mamak dan adik-adiknya. Keputusan telah bulat. Malam ini, perjalanan menuju harapan akan dimulai.
Namun sebelum berangkat, sebuah hadiah kecil datang dari Ica.
“Kak Oya, ini hadiah dari Ica,” ucap si kecil polos.
“Hadiah apa, Ca?” tanya Oya.
“Ica doain, semoga kakak bisa bantu Ica, mamak, abang, kak Suci… bahkan orang miskin yang nggak punya uang untuk berobat…”
Air mata tak lagi bisa ditahan. Doa tulus dari adik kecil itu menjadi bahan bakar bagi tekad Oya yang semakin menguat.
Dengan pelukan hangat dan harapan yang terpintal dalam doa, malam itu mereka pun melintasi kabut tebal Seulawah—menuju Kota Raja. Bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan cinta dan pengorbanan dari sebuah keluarga kecil yang tak pernah berhenti bermimpi dan berjuang.