LHOKSEUMAWE – Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Seluruh negeri merayakannya dengan bangga: bendera berkibar, lagu kebangsaan dikumandangkan, dan pesta rakyat digelar. Namun di sebuah rumah sederhana di Dusun Bahagia, Ulee Jalan, Banda Sakti, Lhokseumawe, ada seorang bocah yang justru masih terbelenggu oleh penderitaan: Muhammad Rafasya, 7 tahun, pengidap jantung bocor sejak lahir.
Di usianya yang seharusnya dipenuhi tawa dan permainan, Rafasya justru akrab dengan rumah sakit, obat-obatan, dan rasa sesak yang menghantui setiap tarikan napasnya. Ia bukanlah simbol kemerdekaan yang gagah, melainkan simbol perjuangan yang tragis di tengah negeri yang katanya sudah merdeka delapan dekade lamanya.
“Yang kami ingin hanya dia sehat, bisa sekolah, bisa bermain seperti anak-anak lain,” lirih Nurmiati, sang ibu, menahan tangis.
Sementara itu, Ismail, ayahnya, bekerja apa saja yang bisa dilakukan demi biaya berobat. Dari mengangkat barang hingga jadi kuli harian, semua penghasilan terasa habis secepat pasir digenggam. Biaya pengobatan terus meninggi, sementara pendapatan selalu tertinggal.
Ironi itu begitu nyata. Di tengah gegap gempita perayaan 80 tahun Indonesia merdeka, ada anak bangsa yang belum merdeka dari penyakit, belum merdeka dari keterbatasan, belum merdeka dari ketidakadilan akses kesehatan.
Senyum kecil Rafasya adalah keberanian sekaligus tamparan bagi nurani kita semua. Kemerdekaan bukan hanya soal terbebas dari penjajahan asing, tetapi juga soal memastikan setiap anak bangsa bisa hidup sehat, sejahtera, dan bahagia.
Delapan puluh tahun merdeka, Rafasya masih menunggu giliran untuk benar-benar merdeka—merdeka dari derita. [Ms]