Banda Aceh – “Sekali merdeka, tetap merdeka!” Pekikan itu bukan sekadar slogan, melainkan cerminan semangat tak tergoyahkan dari para pejuang Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan besar. Mungkin timbul pertanyaan: jika Indonesia sudah merdeka, mengapa perjuangan terus berlanjut?
Jawabannya cukup jelas namun sarat makna: mempertahankan kemerdekaan jauh lebih sulit daripada merebutnya. Inilah tantangan nyata yang dihadapi bangsa Indonesia setelah pembacaan proklamasi pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Meski kemerdekaan telah diumumkan secara resmi, tidak serta-merta diakui dan diterima oleh dunia internasional.
Ancaman Setelah Proklamasi
Tak lama setelah proklamasi, tepatnya pada 29 September 1945, pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris mendarat di Indonesia. Bersama mereka turut serta NICA (Netherlands Indies Civil Administration), lembaga yang mewakili pemerintahan kolonial Belanda. Tujuan mereka jelas: berupaya mengembalikan kekuasaan Belanda atas wilayah Indonesia.
Kehadiran mereka kembali menyalakan bara perlawanan. Padahal dunia baru saja keluar dari kengerian Perang Dunia II, yang ditutup dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Banyak yang berharap kemerdekaan Indonesia menjadi awal kedamaian, tetapi justru perjuangan baru yang lebih berat dimulai.
Masa Perang Kemerdekaan
Indonesia harus menghadapi perjuangan bersenjata dan diplomasi internasional dari tahun 1945 hingga 27 Desember 1949, saat Belanda akhirnya menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia secara resmi. Dalam kurun waktu itu, berbagai pertempuran besar terjadi — mulai dari Pertempuran Surabaya, Ambarawa, Bandung Lautan Api, hingga Agresi Militer Belanda I dan II.
Tak hanya senjata yang berbicara. Meja-meja perundingan juga menjadi medan perjuangan, salah satunya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Semua ini menunjukkan betapa kerasnya usaha mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan.
Keterlibatan Ulama dan Santri
Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini, para ulama dan santri dari pesantren-pesantren di seluruh Nusantara turut berperan penting, baik dalam aspek fisik maupun spiritual.
Salah satu sosok sentral dalam perjuangan ini adalah KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pimpinan Pesantren Tebuireng. Beliau memprakarsai lahirnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, melalui pertemuan para ulama dan pengurus NU dari wilayah Jawa dan Madura di Surabaya.
Resolusi ini menyatakan bahwa mempertahankan tanah air dari penjajahan adalah kewajiban agama. Bahkan dijelaskan bahwa setiap Muslim yang berada dalam radius sekitar 94 kilometer dari titik pertempuran wajib ikut terlibat dalam perjuangan.
Fatwa tersebut menyulut semangat jihad di kalangan santri dan masyarakat. Dengan tekad dan keyakinan, mereka bergabung dalam barisan laskar seperti Hizbullah dan Sabilillah, membela tanah air bukan hanya demi kebebasan, tetapi juga demi menjaga nilai-nilai agama dan martabat bangsa.
Menjaga Warisan Perjuangan
Delapan puluh tahun telah berlalu sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun jasa para pejuang, termasuk para ulama dan santri, tidak boleh terhapus dari ingatan bangsa. Kemerdekaan hari ini adalah warisan yang diperjuangkan dengan nyawa dan air mata.
Tantangan generasi saat ini bukan lagi angkat senjata, melainkan bagaimana mengisi kemerdekaan dengan pembangunan yang berarti. Menjaga kedaulatan bangsa kini berarti memperkuat kualitas iman dan takwa (IMTAK), serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Peran ulama dan santri tetap vital — sebagai penjaga moral, panutan spiritual, dan motor kemajuan intelektual bangsa.
Sebagai bangsa yang besar, kita tidak boleh kehilangan jejak sejarah. Mengingat dan menghargai peran ulama dan santri dalam perjuangan kemerdekaan adalah bentuk syukur atas nikmat merdeka. Semoga semangat jihad yang dulu berkobar terus menyala dalam bentuk yang sesuai dengan zaman, untuk masa kini dan masa depan Indonesia.