ACEH TENGAH | Malam turun pelan di Geumpang. Hujan seolah ragu, namun dinginnya terasa menekan. Di sebuah tikungan sempit yang kini berubah menjadi pos darurat, deru mesin truk PT Pegasus Mineral Nusantara (PMN) baru saja padam setelah perjalanan panjang dan melelahkan. Di bak-bak besi truk itu tersimpan 6,5 ton bantuan bukan sekadar logistik, melainkan bekal hidup yang pagi ini diupayakan menembus Desa Paya Tampu, Berandeuh Paya, Tanjung, dan sejumlah desa lain yang terputus total sejak banjir besar beberapa hari lalu.
Pergerakan bantuan dilakukan dalam kerangka tanggap darurat, sebagaimana diarahkan melalui Surat Edaran Gubernur Aceh mengenai percepatan distribusi ke wilayah terdampak dan terisolasi. Negara hadir melalui instruksi, namun di lapangan kehadiran itu diuji oleh tebing labil, tanah longsor, jalur yang amblas, dan lumpur yang menelan roda kendaraan.
“Kami sebenarnya ingin langsung jalan malam ini,” ujar M. Nur, perwakilan PMN, sambil menatap jalur gelap yang belum sepenuhnya stabil. “Tapi medan belum aman. Tebing masih labil.” Ia terdiam sebelum menambahkan, “Sementara di sana, warga sudah tidak punya waktu untuk menunggu.”
Di desa-desa yang terputus itu, sekitar 1.500 jiwa dari 500 keluarga kini bertahan dengan persediaan yang makin menipis. Tidak ada kendaraan yang bisa masuk. Toko-toko tutup. Beras dibagi tipis dari hari ke hari. Dalam situasi demikian, bantuan bukan lagi sekadar simbol kepedulian, tetapi garis batas antara makan dan tidak makan.
Tahap awal distribusi PMN memuat 1.000 karung beras lima kilogram, 200 kotak mi instan, 1.000 kilogram minyak goreng dan gula, 2.000 butir telur, 300 lembar selimut, serta sarden, garam, dan kebutuhan pokok lainnya. Beberapa komoditas bahkan dibeli tambahan di perjalanan karena stok di lapangan nyaris habis. “Kalau menunggu pasokan normal, warga bisa keburu kosong dapurnya,” kata M. Nur.
Seluruh operasi mulai dari pengadaan logistik, armada, bahan bakar, hingga kebutuhan teknis ditanggung dari dana operasional PT Pegasus Mineral Nusantara. Tidak ada seremoni, tidak ada sorotan panggung. Hanya kerja senyap di jalur-jalur rusak dengan satu tujuan: memastikan bantuan benar-benar tiba di tangan warga.
Distribusi dirancang cermat agar tidak menumpuk di satu titik. “Yang paling kami khawatirkan itu kalau ada desa yang terlewat,” ujar M. Nur. “Di kondisi seperti ini, satu hari tanpa bantuan bisa berakibat fatal.” Kalimat itu tidak heroik, tetapi menyiratkan betapa rapuhnya hidup di wilayah yang terputus dari dunia luar.
Misi ini pun tidak berhenti pada satu gelombang. Tahap kedua tengah disiapkan: 400 karung beras tambahan serta lebih dari 500 kotak sarden akan dikirim segera setelah akses kembali memungkinkan. Bila jalur terbuka, distribusi diperluas ke kecamatan lain di Aceh Tengah, tetap mengikuti koridor koordinasi kebencanaan pemerintah daerah.
“Kami tidak datang hanya untuk sekali menurunkan bantuan lalu pergi,” ucap M. Nur. “Kami ingin warga benar-benar bisa bertahan sampai keadaan membaik.” Tuturannya sederhana, tanpa slogan besar namun di medan bencana, kesederhanaan seperti itulah yang sering menjadi penyangga hidup paling nyata.
Aceh Tengah kini tengah merangkai ulang hidupnya dari lumpur, dari jalan yang hilang, dari ladang yang tertimbun. Di tengah keterputusan itu, kehadiran PT Pegasus Mineral Nusantara yang bergerak seiring instruksi darurat Pemerintah Aceh tidak hanya menghadirkan bantuan logistik, tetapi juga penegasan bahwa warga di ujung jalan yang putus itu tidak sendirian.
Dan ketika truk-truk itu kembali bergerak menuju desa yang terisolasi, yang mereka bawa bukan hanya beras, telur, dan selimut. Mereka membawa tambahan napas bagi warga yang berhari-hari menunggu dalam sunyi, di batas paling rawan antara harapan dan kehilangan.









